Mencari Tandatangan Tuhan
Oleh : Dewi Trisna Wati
Seorang pemuda tanggung duduk temangu sembari menikmati eksotika pantai di atas hamparan pasir yang menjerit. Sulam nama pemuda tersebut. Ia bersiul-siul mengikuti lagu dangdut yang disetel pada sebuah warung tak jauh dari tempatnya sekarang. Matanya menerawang mentari yang merayap temaram. Membias jingga di selakangan pulau. Tak lupa awan berarak terukir di sebelahnya.
Di tangan kanan Sulam nampak memegang pancing. Wajahnya tertimbun sorot senja. Suasana riuh kala mendengar lincah ombak. Ditambah tamparan angin merebah yang beradu dengan sang daun kelapa bak surga di pantai ini. Konang namanya.
Kali ini Sulam berteriak namun belum bisa mengalahkan dahsyatnya gemuruh air menghantam celah-celah karang.
Satu... Dua... Tiga... Empat... Li... Lahdalah ! Sial ! Hanya empat ekor saja ? Kecil-kecil pula. Asem ane ! Kesalnya seraya menendang kerikil ke arah riak-riak gelombang. Lalu ia berkacak pinggang, mulutnya bergumam. Selepas itu ia bersiul. Nampak seperti orang tak waras.
Pantas saja Sulam bermuka masam sebab ini bukan bulan panen. Ikan-ikan jarang berjelajah ke wajah pantai. Bulan ini agenda ikan-ikan untuk berkecimpung di antara terumbu karang.
Terdengar sruput wedang. Kini secangkir wedang hanya tersisa gumpalan cendol. Ia beranjak ke peraduaannya pasrah menenteng ikan-ikan hasil pancingan tadi. Bau napas lautan disertai anyir semerbak menemaninya bersama vespa usangnya. Usai membayar ke pemilik warung, bersama senja meremang ia pulang. Jejak kaki pada hamparan pasir itu ibarat salam selamat tinggal.
Senja itu benar-benar lenyap ketika ia sampai di kediamannya. Tempat menghilangkan penat namun tak terlalu besar. Dua orang sedang menunggu, diketahui itu adalah emak dan adiknya yang bernama Kruti. Mereka duduk di atas beberan tikar bercorak garis-garis sembari melihat sebuah sinetron di televisi kecil nan usang.
Jam segini kok baru pulang le ? tanya emak.
Sulam menghela napas. Iya mak, susah sekali hari ini ikan ku dapat. Jawab Sulam sambil menyerahkan empat ekor ikan hasil tangkapannya tadi.
Disyukuri wae le."
"Sekarang basuh badanmu lalu kita makan. Emak sudah membuat nasi tiwul sama sambal teri kesukaanmu.
Iya mak.
Ia kemudian bergegas ke kamar mandi. Membasuh ketiak yang baunya sudah menjamur di tubuhnya lalu berwudhu.
Seusai Sulam melaksanakan kewajibannya salat, duduklah ia bersilang bersama emak dan adiknya. Berjejer nasi tiwul, sambal teri, ikan bakar hasil tangkapan tadi, lalapan dan sebuah kendi. Keluarga kecil itu menikmati santap malam.
Terdengar suara tenggorokan menenggak air diikuti dehem lirih.
Kang Sulam, aku ingin sepeda motor matic seperti punya Mbak Bintar ! ucap Kruti mengawali percakapan.
Sulam dan emaknya kaget bukan kepalang mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Kruti. Sulam menyeruput air yang ada di gelas.
Kruti kau tadi makan apa ? Seperti orang kesambet !
Tidak kang ! Kruti serius. Tak tahan lagi rasanya melihat teman-teman pergi ke sekolah mengendarai sepeda motor. Apalagi aku sudah beranjak SMA kang ! Kruti menimpali.
Bersabarlah nak, kakangmu sedang berjuang untuk dirimu ! Masalah sepeda motor nanti tahun depan saja. Sekarang kita sedang mengalami hiruk pikuk kehidupan nak. sahut emak.
Maafkan aku mak, tapi aku sudah berujar bahwa aku tak akan sekolah jika aku tak punya sepeda motor ! ujar Kruti.
Sulam dan emaknya tak menjawab sepatah katapun. Tenggorokannya seakan disumpali sebuah kain sehingga mereka hanya diam mematung. Lantas menggelengkan kepala.
Ikan bakar yang disuguhkan emak Sulam tinggal tulangnya saja. Sulam berjalan ke arah serambi, duduk di kursi bambu. Matanya yang bulat hitam menatap sang rembula. Ia menerawang lamat-lamat. Cahayanya berpendar mengenai dedaunan dan reranting. Ia duduk bertumpang dagu. Pikirannya berkelana mengenai dirinya. Jangkrik mengerik seakan ikut menghujatnya.
Apa yang akan kau perbuat dengan ijazah SMP itu ?!
Apa dengan potensi yang ku miliki seni tari jaranan bila mencukupi kehidupan keluargamu ? Atau dengan coretan puisi, cerpen, pantun bisa menambah penghasilanmu ? Bagaimana dengan lihainya engkau membuat jenang piteng, pecel, rujak ? Akankah mancing membuat ekonomi keluargamu menjadi kaya ? Apa yang sudah kau lakukan terhadap keluargamu ? Akankah kau menjadikannya nasib Kruti sama seperti mu ? Seorang penari jaranan, sastrawan amatir, koki tradisional, pemancing atau anak laut ? Ahh....... Begitulah Sulam bertanya dalam batinnya, ia mendesah.
Mayoritas di dukuhnya masa-masa seperti Sulam seharusnya sudah kawin. Selepas itu merantau ke negeri tetangga atau antar pulau demi mencari uang. Seperti Kang Ribut yang sekarang hidup serba mewah. Setiap sebulan sekali ia mentransfer uang kepada keluarga berjuta-juta, bahkan saking suksesnya Kang Ribut mengadakan kenduri di rumahnya. Sudah menjadi fenomena bahwa di sini para remaja yang tidak mampu melanjutkan pendidikan pergi merantau. Namun, Sulam tak ingin meninggalkan emaknya yang punggungnya tak lagi tegap. Bahkan kerut keningnya semakin menggurat.
Apalagi jika melihat emaknya memakul singkong yang dibawa dari ladang serasa derai air mata Sulam pecah seketika.
Belum lagi adiknya Kruti yang belum bisa membantu emaknya. Seharusnya anak sebesar Kruti bisa memahami nestapa di kehidupan keluarganya. Sulam tak tahu-menahu perihal sosok bapaknya. Melihat fotonya sekalipun tak pernah. Ia hanya menerka bapaknya melalui tutur kata dari emaknya sewaktu ia menidurkan Sulam.
“ Bapaknya seharusnya menjadi sayap untuk nanti terbang ke surga-Nya. Menemani emak sampai kedatangan Malaikat memisahkan. Bukan menjadi sayap orang lain. Satu-satu hal yang aku takutkan ialah Tuhan memberi tandatangan kepadaku. Batin Sulam.
Bintang semakin samar-samar terlihat. Mata Sulam sayu dan terus layu dalam plukan angin yang terus menggoda. Sulam beranjak ke tempat tidur yakni tikar, meninggalkan kursi yang terikat janji dengan si meja. Lantas ia pergi ke alam mimpi diikuti terbesitnya sebuah pertanyaan. Akankah aku merantau ?
Malam telah lama berlalu dan sapaan hangat mentari belum dirasakan Sulam. Justru hembus angin menikam Sulam secara lembut. Pulas Sulam tertidur malang. Sampai tangan emak Sulam yang kasar menggedor daun pintu kamar Sulam. Sulam terhenyak. Matanya terbelalak mlihat angka pada jam itu menunjukkan pukul lima lebih tigapuluh menit. Ia tercekat kemudian berjalan sempoyongan menuju bilik. Tersadar bahwa hari ini jadwal yang padat. Sulam harus mengisi sebuah pertunjukan jaranan dan tentunya kembali melaut. Hatinya kembali berapi.
Pandangannya menyapu semua ruangan. Terhenti kala melihat tudung saji. Dibukanya tudung saji tersebut.
Jenang piten. Sulam menyergap makanan itu yang habis dibeli di pasaran wage Panggul tentunya. Usai menyantap, ia mengantar Kruti ke sekolah menaiki vespa kesayangannya.
Sulam menghindari kubangan air pada lubang jalanan yang menganga. Kanan kiri jalan nampak orang-orang menjinjing matahari mengurai senyum pada guratan bibirnya. Di tengah perjalanan Kruti mengulang pertanyaan yang sama seperti semalam.
Kapan kang, Kruti dibelikan sepeda motor ?
Secepatnya. Jawab Sulam singkat
Besuk kang ?
Tidak.
Lusa ?.
Tidak juga.
Minggu depan ?
Tidaklah.
Bulan depan ?
Belum.
Lantas ?
Tiga bulan ke depan.
Ha....? Alah jabang bayi ! Kelamaan kang !
Ya sudah kalau tak mau menunggu.
Baiklah kang. Kruti tunggu. Suara Kruti terdengar lirih. Namun, hatinya lega. Membayang-bayangkan sepeda barunya. Dadanya mengembang. Pipinya merona.
Minggu kedua pada bulan basah. Bulan kedua. Namun, uang yang terkumpul masih jauh dari harga beli motor. Meski di pantai Konang sedang panen ikan semacam agustusan ramainya. Tua muda saling berebut dan berkecamuk. Tawar menawar terjadi. Sulam memanfaatkan panen bulan ini. Ia juga dibanjiri oleh tawaran pertunjukkan jaranan. Bahkan, bulan ini ia dibasahi oleh siswa SMA yang meminta tandatangan Sulam sebab seiring tampilanya di hajatan sebagai penyanyi, liar.
Meski begitu Sulam tak besar kepala. Janji pada Kruti termaktub dalam sanubarinya. Ia tak mudah kelabakan juga yak berdalih ke tujuan awal.
Di sudut pantai tepat di warung paling selatan. Kabut merangkak memenuhi belantara, disusul asap-asap kecil yang berasal dari para bapak yang tengah ramai nyalak berbincang. Ada yang menyembulkan ke atas mulutnya. Lalu dihisap lagi. Terus berulang-ulang. Ada juga yang melinting, menyusun komposisi rokok agar pas dan nikmat rasanya. Disebelahnya juga ada es degan dan secangkir kopi. Usai menyecap rokok mereka ditenggaknya secangkir kopi.
Berdehem. Kang sudah denger kabar tentang Kang Ribut ? Salah seorang Bapak mengawali percakapan.
Yo wis to kang. Itu to soal usahanya yang kian berkembang.
Iya. Aku juga mau merantau ke tempatnya Kang Ribut. Katanya buka lowongan.
Aku juga mau nyusul kang. Ntar aku sama sampean nunut di rumah Kang Ribut aja.
Welahdalah semua kok ikut ? Aku juga mau kalau gitu. Kau tak ikut to Lam ? tanya salah seorang bapak kepada Sulam.
Inggih Pak Slamet, nanti saya pikirkan.
Lebih becik ikut Lam. Kita berangkat bersama-sama. Toh kowe butuh duit buat beli sepeda motor Kruti.
Setelah Sulam merenung, akhirnya ia putuskan merantau.
Iya Pak Slamet. Saya ikut, nanti segala thethek bengeknya saya urus.
Mak aku kembali ! Kruti, kang Sulam belum bisa membawakan uang ! Maafkan Kakang tak bisa menepati janji. Seru Sulam di teras rumah. Sulam keheranan melihat orang-orang heran melihat orang-orang di dukuhnya berlalu lalang. Hitam-hitam busana mereka. Ia mendongak ke tiang rumahnya. Bendera kuning tertancap. Mulutnya ternganga siapa gerangan yang diambil Tuhan ? Emak atau Kruti ? Lantas Sulam bertanya pada Pak Slamet yang duduk bersimpuh sesekali menyeka pipi yang basah akan derai air mata. Sulam semakin linglung.
Ia masuk ke dalam rumah. Nampak seorang jenazah yang terbujur kaku dibalut kain mori. Di sebelahnya Emak dan Kruti menggugu. Diikuti isak tangis yang lain beradu lantunan surat yasin.
Bukan Emak bukan Kruti. Lantas siapa ? Pikir Sulam lalu sibakkannya kain mori itu. Ia mendelik sontak kaget. Namun, orang-orang tak menyadari kehadiran sorotnya. Sulam mengingat.
Kang, kalau saja aku tak meminta sepeda motor. Kau tak akan kemalangan Kang. Teriak Kruti histeris
Kenapa kau pulang secepat ini Lam ? Kau janji akan menemani Emak. Tapi kau tinggalkan Emak. Lalu bagaimana nasib Emak dan Kruti ?
Sulam melayang ringan menemui nisan yang tertera namanya.
Suara sirine memekik. Cepat sekali ambulance itu datang. Membawa korban kecelakaan. Bus menabrak pohon pinus pada tikungan Slorok Panggul diduga sopir mengantuk. Ada yang terpental. Ada juga yang terlindas. Di antara korban tersebut, Sulam terlindas ban. Kepalanya remuk. Darah bercucuran dimana-mana. Darah seni dan religi ikut terbawa. Sekelibat gethuk, jenang, Emak, Kruti tempias di benaknya. Ia menghela napas lalu terhenti. Suara sekitarnya menjerit kalang kabut. Tujuan Sulam adalah merantau mencari uang, tetapi justru merantau mencari tandatangan Tuhan. Emak pingsan. Kruti terus meratapi Sulam yang kini berjubah mori menemui sang Ilahi.
Oleh : Dewi Trisna Wati
Seorang pemuda tanggung duduk temangu sembari menikmati eksotika pantai di atas hamparan pasir yang menjerit. Sulam nama pemuda tersebut. Ia bersiul-siul mengikuti lagu dangdut yang disetel pada sebuah warung tak jauh dari tempatnya sekarang. Matanya menerawang mentari yang merayap temaram. Membias jingga di selakangan pulau. Tak lupa awan berarak terukir di sebelahnya.
Di tangan kanan Sulam nampak memegang pancing. Wajahnya tertimbun sorot senja. Suasana riuh kala mendengar lincah ombak. Ditambah tamparan angin merebah yang beradu dengan sang daun kelapa bak surga di pantai ini. Konang namanya.
Kali ini Sulam berteriak namun belum bisa mengalahkan dahsyatnya gemuruh air menghantam celah-celah karang.
Satu... Dua... Tiga... Empat... Li... Lahdalah ! Sial ! Hanya empat ekor saja ? Kecil-kecil pula. Asem ane ! Kesalnya seraya menendang kerikil ke arah riak-riak gelombang. Lalu ia berkacak pinggang, mulutnya bergumam. Selepas itu ia bersiul. Nampak seperti orang tak waras.
Pantas saja Sulam bermuka masam sebab ini bukan bulan panen. Ikan-ikan jarang berjelajah ke wajah pantai. Bulan ini agenda ikan-ikan untuk berkecimpung di antara terumbu karang.
Terdengar sruput wedang. Kini secangkir wedang hanya tersisa gumpalan cendol. Ia beranjak ke peraduaannya pasrah menenteng ikan-ikan hasil pancingan tadi. Bau napas lautan disertai anyir semerbak menemaninya bersama vespa usangnya. Usai membayar ke pemilik warung, bersama senja meremang ia pulang. Jejak kaki pada hamparan pasir itu ibarat salam selamat tinggal.
Senja itu benar-benar lenyap ketika ia sampai di kediamannya. Tempat menghilangkan penat namun tak terlalu besar. Dua orang sedang menunggu, diketahui itu adalah emak dan adiknya yang bernama Kruti. Mereka duduk di atas beberan tikar bercorak garis-garis sembari melihat sebuah sinetron di televisi kecil nan usang.
Jam segini kok baru pulang le ? tanya emak.
Sulam menghela napas. Iya mak, susah sekali hari ini ikan ku dapat. Jawab Sulam sambil menyerahkan empat ekor ikan hasil tangkapannya tadi.
Disyukuri wae le."
"Sekarang basuh badanmu lalu kita makan. Emak sudah membuat nasi tiwul sama sambal teri kesukaanmu.
Iya mak.
Ia kemudian bergegas ke kamar mandi. Membasuh ketiak yang baunya sudah menjamur di tubuhnya lalu berwudhu.
Seusai Sulam melaksanakan kewajibannya salat, duduklah ia bersilang bersama emak dan adiknya. Berjejer nasi tiwul, sambal teri, ikan bakar hasil tangkapan tadi, lalapan dan sebuah kendi. Keluarga kecil itu menikmati santap malam.
Terdengar suara tenggorokan menenggak air diikuti dehem lirih.
Kang Sulam, aku ingin sepeda motor matic seperti punya Mbak Bintar ! ucap Kruti mengawali percakapan.
Sulam dan emaknya kaget bukan kepalang mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Kruti. Sulam menyeruput air yang ada di gelas.
Kruti kau tadi makan apa ? Seperti orang kesambet !
Tidak kang ! Kruti serius. Tak tahan lagi rasanya melihat teman-teman pergi ke sekolah mengendarai sepeda motor. Apalagi aku sudah beranjak SMA kang ! Kruti menimpali.
Bersabarlah nak, kakangmu sedang berjuang untuk dirimu ! Masalah sepeda motor nanti tahun depan saja. Sekarang kita sedang mengalami hiruk pikuk kehidupan nak. sahut emak.
Maafkan aku mak, tapi aku sudah berujar bahwa aku tak akan sekolah jika aku tak punya sepeda motor ! ujar Kruti.
Sulam dan emaknya tak menjawab sepatah katapun. Tenggorokannya seakan disumpali sebuah kain sehingga mereka hanya diam mematung. Lantas menggelengkan kepala.
Ikan bakar yang disuguhkan emak Sulam tinggal tulangnya saja. Sulam berjalan ke arah serambi, duduk di kursi bambu. Matanya yang bulat hitam menatap sang rembula. Ia menerawang lamat-lamat. Cahayanya berpendar mengenai dedaunan dan reranting. Ia duduk bertumpang dagu. Pikirannya berkelana mengenai dirinya. Jangkrik mengerik seakan ikut menghujatnya.
Apa yang akan kau perbuat dengan ijazah SMP itu ?!
Apa dengan potensi yang ku miliki seni tari jaranan bila mencukupi kehidupan keluargamu ? Atau dengan coretan puisi, cerpen, pantun bisa menambah penghasilanmu ? Bagaimana dengan lihainya engkau membuat jenang piteng, pecel, rujak ? Akankah mancing membuat ekonomi keluargamu menjadi kaya ? Apa yang sudah kau lakukan terhadap keluargamu ? Akankah kau menjadikannya nasib Kruti sama seperti mu ? Seorang penari jaranan, sastrawan amatir, koki tradisional, pemancing atau anak laut ? Ahh....... Begitulah Sulam bertanya dalam batinnya, ia mendesah.
Mayoritas di dukuhnya masa-masa seperti Sulam seharusnya sudah kawin. Selepas itu merantau ke negeri tetangga atau antar pulau demi mencari uang. Seperti Kang Ribut yang sekarang hidup serba mewah. Setiap sebulan sekali ia mentransfer uang kepada keluarga berjuta-juta, bahkan saking suksesnya Kang Ribut mengadakan kenduri di rumahnya. Sudah menjadi fenomena bahwa di sini para remaja yang tidak mampu melanjutkan pendidikan pergi merantau. Namun, Sulam tak ingin meninggalkan emaknya yang punggungnya tak lagi tegap. Bahkan kerut keningnya semakin menggurat.
Apalagi jika melihat emaknya memakul singkong yang dibawa dari ladang serasa derai air mata Sulam pecah seketika.
Belum lagi adiknya Kruti yang belum bisa membantu emaknya. Seharusnya anak sebesar Kruti bisa memahami nestapa di kehidupan keluarganya. Sulam tak tahu-menahu perihal sosok bapaknya. Melihat fotonya sekalipun tak pernah. Ia hanya menerka bapaknya melalui tutur kata dari emaknya sewaktu ia menidurkan Sulam.
“ Bapaknya seharusnya menjadi sayap untuk nanti terbang ke surga-Nya. Menemani emak sampai kedatangan Malaikat memisahkan. Bukan menjadi sayap orang lain. Satu-satu hal yang aku takutkan ialah Tuhan memberi tandatangan kepadaku. Batin Sulam.
Bintang semakin samar-samar terlihat. Mata Sulam sayu dan terus layu dalam plukan angin yang terus menggoda. Sulam beranjak ke tempat tidur yakni tikar, meninggalkan kursi yang terikat janji dengan si meja. Lantas ia pergi ke alam mimpi diikuti terbesitnya sebuah pertanyaan. Akankah aku merantau ?
Malam telah lama berlalu dan sapaan hangat mentari belum dirasakan Sulam. Justru hembus angin menikam Sulam secara lembut. Pulas Sulam tertidur malang. Sampai tangan emak Sulam yang kasar menggedor daun pintu kamar Sulam. Sulam terhenyak. Matanya terbelalak mlihat angka pada jam itu menunjukkan pukul lima lebih tigapuluh menit. Ia tercekat kemudian berjalan sempoyongan menuju bilik. Tersadar bahwa hari ini jadwal yang padat. Sulam harus mengisi sebuah pertunjukan jaranan dan tentunya kembali melaut. Hatinya kembali berapi.
Pandangannya menyapu semua ruangan. Terhenti kala melihat tudung saji. Dibukanya tudung saji tersebut.
Jenang piten. Sulam menyergap makanan itu yang habis dibeli di pasaran wage Panggul tentunya. Usai menyantap, ia mengantar Kruti ke sekolah menaiki vespa kesayangannya.
Sulam menghindari kubangan air pada lubang jalanan yang menganga. Kanan kiri jalan nampak orang-orang menjinjing matahari mengurai senyum pada guratan bibirnya. Di tengah perjalanan Kruti mengulang pertanyaan yang sama seperti semalam.
Kapan kang, Kruti dibelikan sepeda motor ?
Secepatnya. Jawab Sulam singkat
Besuk kang ?
Tidak.
Lusa ?.
Tidak juga.
Minggu depan ?
Tidaklah.
Bulan depan ?
Belum.
Lantas ?
Tiga bulan ke depan.
Ha....? Alah jabang bayi ! Kelamaan kang !
Ya sudah kalau tak mau menunggu.
Baiklah kang. Kruti tunggu. Suara Kruti terdengar lirih. Namun, hatinya lega. Membayang-bayangkan sepeda barunya. Dadanya mengembang. Pipinya merona.
Minggu kedua pada bulan basah. Bulan kedua. Namun, uang yang terkumpul masih jauh dari harga beli motor. Meski di pantai Konang sedang panen ikan semacam agustusan ramainya. Tua muda saling berebut dan berkecamuk. Tawar menawar terjadi. Sulam memanfaatkan panen bulan ini. Ia juga dibanjiri oleh tawaran pertunjukkan jaranan. Bahkan, bulan ini ia dibasahi oleh siswa SMA yang meminta tandatangan Sulam sebab seiring tampilanya di hajatan sebagai penyanyi, liar.
Meski begitu Sulam tak besar kepala. Janji pada Kruti termaktub dalam sanubarinya. Ia tak mudah kelabakan juga yak berdalih ke tujuan awal.
Di sudut pantai tepat di warung paling selatan. Kabut merangkak memenuhi belantara, disusul asap-asap kecil yang berasal dari para bapak yang tengah ramai nyalak berbincang. Ada yang menyembulkan ke atas mulutnya. Lalu dihisap lagi. Terus berulang-ulang. Ada juga yang melinting, menyusun komposisi rokok agar pas dan nikmat rasanya. Disebelahnya juga ada es degan dan secangkir kopi. Usai menyecap rokok mereka ditenggaknya secangkir kopi.
Berdehem. Kang sudah denger kabar tentang Kang Ribut ? Salah seorang Bapak mengawali percakapan.
Yo wis to kang. Itu to soal usahanya yang kian berkembang.
Iya. Aku juga mau merantau ke tempatnya Kang Ribut. Katanya buka lowongan.
Aku juga mau nyusul kang. Ntar aku sama sampean nunut di rumah Kang Ribut aja.
Welahdalah semua kok ikut ? Aku juga mau kalau gitu. Kau tak ikut to Lam ? tanya salah seorang bapak kepada Sulam.
Inggih Pak Slamet, nanti saya pikirkan.
Lebih becik ikut Lam. Kita berangkat bersama-sama. Toh kowe butuh duit buat beli sepeda motor Kruti.
Setelah Sulam merenung, akhirnya ia putuskan merantau.
Iya Pak Slamet. Saya ikut, nanti segala thethek bengeknya saya urus.
Mak aku kembali ! Kruti, kang Sulam belum bisa membawakan uang ! Maafkan Kakang tak bisa menepati janji. Seru Sulam di teras rumah. Sulam keheranan melihat orang-orang heran melihat orang-orang di dukuhnya berlalu lalang. Hitam-hitam busana mereka. Ia mendongak ke tiang rumahnya. Bendera kuning tertancap. Mulutnya ternganga siapa gerangan yang diambil Tuhan ? Emak atau Kruti ? Lantas Sulam bertanya pada Pak Slamet yang duduk bersimpuh sesekali menyeka pipi yang basah akan derai air mata. Sulam semakin linglung.
Ia masuk ke dalam rumah. Nampak seorang jenazah yang terbujur kaku dibalut kain mori. Di sebelahnya Emak dan Kruti menggugu. Diikuti isak tangis yang lain beradu lantunan surat yasin.
Bukan Emak bukan Kruti. Lantas siapa ? Pikir Sulam lalu sibakkannya kain mori itu. Ia mendelik sontak kaget. Namun, orang-orang tak menyadari kehadiran sorotnya. Sulam mengingat.
Kang, kalau saja aku tak meminta sepeda motor. Kau tak akan kemalangan Kang. Teriak Kruti histeris
Kenapa kau pulang secepat ini Lam ? Kau janji akan menemani Emak. Tapi kau tinggalkan Emak. Lalu bagaimana nasib Emak dan Kruti ?
Sulam melayang ringan menemui nisan yang tertera namanya.
Suara sirine memekik. Cepat sekali ambulance itu datang. Membawa korban kecelakaan. Bus menabrak pohon pinus pada tikungan Slorok Panggul diduga sopir mengantuk. Ada yang terpental. Ada juga yang terlindas. Di antara korban tersebut, Sulam terlindas ban. Kepalanya remuk. Darah bercucuran dimana-mana. Darah seni dan religi ikut terbawa. Sekelibat gethuk, jenang, Emak, Kruti tempias di benaknya. Ia menghela napas lalu terhenti. Suara sekitarnya menjerit kalang kabut. Tujuan Sulam adalah merantau mencari uang, tetapi justru merantau mencari tandatangan Tuhan. Emak pingsan. Kruti terus meratapi Sulam yang kini berjubah mori menemui sang Ilahi.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih