Sejak Kapan Mereka Mengukur Kebahagiaan Orangtuaku ?
Namaku adalah Dewi. Aku bukan seorang hedonisme. Aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Jauh dari kata "mewah" bahkan jika harus mengakui keluargaku "cukup" itu adalah suatu bentuk pemaksaan. Kedua orangtuaku bekerja sebagai petani. Mereka tak pernah absen ke ladang, paling-paling alfa jika ada kenduri besar atau hajatan di tetangga, bapak akan diundang sebagai sesepuh sekaligus penentu hari baik dan hal apa saja yang perlu dipersiapkan saat acara itu berlangsung. Sedangkan, ibuku ditempatkan di dapur sebagai penyiap nasi. Lalu, aku membantu mencatat siapa saja dan apa saja yang dibawa oleh tamu.
Aku bukanlah orang yang boros sejak SMA. Aku memanimalisir segala kebutuhanku. Bahkan, aku harus rela menahan sedih karena tas dan sepatuku sobek dan jebol. Bukan karena malu tapi, lebih ke orangtuaku jika teman-temanku menganggap diriku tak diurusi orangtuaku. Uang yang diberikan oleh kedua orangtuaku aku pakai untuk menabung jika sewaktu-waktu ada iuran di sekolah. Sungguh, ini bukan sikap yang pelit.
"Dewi, anak yang cerdas, inovatif, aktif, disiplin. Hampir multitalenta lah.. Sayang, ia konyol. Hahaha.." kalimat yang acap kali diucapkan hampir seluruh teman-temanku. Hal itu tak serta merta membuatku besar kepala. Aku juga tipe remaja yang mengesampingkan soal cinta. Cinta bagiku urusan belakangan.
Masa akhir SMA adalah masa yang sulit bagiku karena selain harus mempertahankan rankingku sejak kelas X, aku juga harus mengejar target-targetku. Di antaranya, lulus UN dengan KKM >5,8, lulus SNMPTN, SBMPTN. Intinya aku harus kuliah di PTN dengan bantuan bidikmisi dari pemerintah. Walaupun sejatinya bapak dan ibu tidak setuju mendukungku kuliah dengan alasan biaya. Beberapa kali aku menjelaskan sembari menangis mengenai perihal PTN yang terdapat banyak beasiswa. Tapi, tak kunjung dihiraukan oleh mereka. Namun, dengan keluletanku belajar dan berusaha menjelaskan akhirnya aku diizinkan walau tak sepenuhnya.
Lambat laun aku mulai mengorek informasi dari beberapa PTN yang terkenal dan terbaik di Indonesia. Kemudian, aku menjelaskan kepada orangtuaku. Mereka sungguh tak mendukungku. Kakakku pun yamg biasanya selalu mendukungku tapi kali ini berbeda. Bahkan, yang kini masih terngiang di memoriku adalah ketika ibu mengucapkan "apakah aku dan bapakmu harus hidup seperti ini sampai nanti ?"pertamyaan itu sangat menampar hatiku.
Aku masih teguh dengan pendirianku untuk kuliah di PTN. Semua usaha telah aku lakukan dan aku percaya usahaku tak akan mengkhianti hasil. Mulai dari kegiatan religius seperti salat sunah dan puasa. Tiada hari tanpa belajar sampai-sampai aku tak peduli dengan kesehatanku. Meski begitu orangtuaku tetep kekeh tak mau meridhoiku.
Kabar bahwa aku kuliah semakin menyebar. Sebelumnya aku pernah mengatakan kepada orangtuaku untuk menyimpan rahasia ini dengan baik agar seandainya hasilnya berbanding terbalik aku tak mendapatkan lebih banyak rasa malu. Setelah mengetahui kabar itu, tetanggaku dan seluruh saudara bapak dan ibu hanya sedikit yang mendukungku. Mereka cenderung menginginkanku untuk kerja kemudian nikah dan punya anak. Karena memang, di desaku jarang yang kuliah. Hanya kakak Endri (temanku) yang kuliah di Jakarta. Itu pun masih banyak yang menghujat. "Hai, hidup dan masa depan itu tak semudah itu !" Kataku dalam hati.
Hari demi hari tetanggaku terus mengkritik. Sebenarnya yang dikatakan itu benar. Tapi kenapa mereka harus mengungkit masa lalu bapak dan ibu. Mulai dari kelahiranku yang hampir membuat ibuku melayang karena kehilangan banyak darah. Mulai dari kecelakaan bapakku dan seluruh tanah, cengkeh, padi yang dijual demi sekolahku. Mereka seakan menyudutkanku bahwa aku hanya parasit di kehidupan bapak dan ibu. Suatu malam aku pernah mendengar bapak menyesali hidupnya yang tidak bisa buruh karena kakinya tak bisa berjalan normal seperti biasanya karena kecelakaan tempo dulu. Bapak menyesali perbuatannya dulu menghamburkan uang hanya untuk judi. Air mataku tak terbendung. Beberapa kali aku melihat bapak memegangi perutnya karena terkena hernia dan sudah seharusnya bapak dioperasi. Aku sebagai anak ingin sekali membantu bapak. Aku tak tega melihat bapak selalu kesakitan untuk ke sekian kalinya.
Kegagalan demi kegagalan menghampiriku. Mulai dari ujian praktik biologi gagal, kalah saing lari dan push up pada waktu ujian praktik penjaskes, nilai UN Matematika yang jauh di bawah rata-rata, tidak lolos SNMPTN, tidak lolos SPAN PTKIN, dan yang terakhir aku harus menelan kekecewaanku terhadap kegagalan SBMPTN. Aku jatuh saat itu, bagaimana mungkin semua kerja kerasku dibayar sia-sia oleh hasil yang sungguh tak ku duga sebelumnya. Aku tambah sedih ketika melihat teman-temanku yang belajar santai justru menuai keberhasilan. Ditambah lagi sindirian dari tetanggaku yang sangat membuat psikologisku terganggu.
Tak dapat dipungkiri waktu wisuda aku meneteskan air mata pada saat pemanggilan siswa-siswi berprestasi yang diterima di PTN. Hatiku kian hancur. Aku masih tidak percaya semua usahaku gagal. Aku menyalahkan semua orang, termasuk diriku sendiri. Bahkan, aku menyalahkan Alloh SWT sebagai wujud kekecewaanku. Itu sungguh tidak baik.
Aku benar-benar kehiangan semangatku waktu itu. Bapak dan ibuku juga ikut terlarut dalam kesedihan. Mimpi yang selama ini ku coba bangunkan ternyata menjadi mimpi buruk. Teman-temanku banyak yang mendukungku. Namun, berbeda dengan kakaku yang justru bahagia karena aku tak jadi kuliah di PTN dengan alasan biaya hidup. "Aku hanya ingin mandiri. Aku bisa" jeritku dalam hati.
Suatu hari setelah beberapa kegagalan itu, ada tetanggaku yang sudah mengenal dekat keluargaku. Ia menyindir "Tuh kan, orang ndesa kok mau kuliah. Ya nihil.. makanya jangan mimpi terlalu tinggi. Sekarang aku tak tanya, kapan kamu kerja ? Kapan kamu sukses ? Orangtuamu hanya akan bangga jika kamu kerja dan banyak uang." Aku tahu pekerjaan itu penting dan pendidikan justru sangat penting bagiku. Aku heran sejak kapan mereja mengukur kebahagian orangtuaku.
Tibalah hari dimana pengumuman UM-PTKIN. Aku tak begitu yakin akan kelolosanku. Aku tak berharap. Jikapun aku lolos itu tidak akan merubah semangatku. Tapi ternyata, aku lolos dan orangtuaku senang akan hal itu. Sungguh, hati ini tidak terlalu senang dengan kelolosan itu. Aku mencoba bersabar. Hari demi hari banyak guru-guru yang memotivasiku, orangtuaku pun begitu, teman-temanku apalagi. Aku bersyukur diberikan orang-orang terbaik dalam hidupku. Aku mulai memperbaiki diri, mencoba mencari motivasi demi motivasi. Kemudian, aku mendekatkan diri kepada Alloh SWT dan memohon ampun atas kekhilafanku yang menyalahkan-Nya. Aku benar-benar menyesal. Selepas ku perlahan bangkit aku mencoba mencari informasi dan berita terkait keringanan UKT, beasiswa, bidikmisi. Aku juga aktif untuk mengikuti lomba-lomba di media sosial. Aku kembali bersemangat karena melihat orangtuaku bangga terhadapku karena aku sudah bisa menerima kenyataan. Aku yakin suatu saat aku akan sukses. Aku akan membuktikan bahwa pekerjaan memang penting. Uang memang penting. Sangat penting. Tapi, pendidikan adalah segala-galanya. Bangsa ini membutuhkan manusia yang cerdas dan terampil. Success is right. The right way. And the right time.
Namaku adalah Dewi. Aku bukan seorang hedonisme. Aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Jauh dari kata "mewah" bahkan jika harus mengakui keluargaku "cukup" itu adalah suatu bentuk pemaksaan. Kedua orangtuaku bekerja sebagai petani. Mereka tak pernah absen ke ladang, paling-paling alfa jika ada kenduri besar atau hajatan di tetangga, bapak akan diundang sebagai sesepuh sekaligus penentu hari baik dan hal apa saja yang perlu dipersiapkan saat acara itu berlangsung. Sedangkan, ibuku ditempatkan di dapur sebagai penyiap nasi. Lalu, aku membantu mencatat siapa saja dan apa saja yang dibawa oleh tamu.
Aku bukanlah orang yang boros sejak SMA. Aku memanimalisir segala kebutuhanku. Bahkan, aku harus rela menahan sedih karena tas dan sepatuku sobek dan jebol. Bukan karena malu tapi, lebih ke orangtuaku jika teman-temanku menganggap diriku tak diurusi orangtuaku. Uang yang diberikan oleh kedua orangtuaku aku pakai untuk menabung jika sewaktu-waktu ada iuran di sekolah. Sungguh, ini bukan sikap yang pelit.
"Dewi, anak yang cerdas, inovatif, aktif, disiplin. Hampir multitalenta lah.. Sayang, ia konyol. Hahaha.." kalimat yang acap kali diucapkan hampir seluruh teman-temanku. Hal itu tak serta merta membuatku besar kepala. Aku juga tipe remaja yang mengesampingkan soal cinta. Cinta bagiku urusan belakangan.
Masa akhir SMA adalah masa yang sulit bagiku karena selain harus mempertahankan rankingku sejak kelas X, aku juga harus mengejar target-targetku. Di antaranya, lulus UN dengan KKM >5,8, lulus SNMPTN, SBMPTN. Intinya aku harus kuliah di PTN dengan bantuan bidikmisi dari pemerintah. Walaupun sejatinya bapak dan ibu tidak setuju mendukungku kuliah dengan alasan biaya. Beberapa kali aku menjelaskan sembari menangis mengenai perihal PTN yang terdapat banyak beasiswa. Tapi, tak kunjung dihiraukan oleh mereka. Namun, dengan keluletanku belajar dan berusaha menjelaskan akhirnya aku diizinkan walau tak sepenuhnya.
Lambat laun aku mulai mengorek informasi dari beberapa PTN yang terkenal dan terbaik di Indonesia. Kemudian, aku menjelaskan kepada orangtuaku. Mereka sungguh tak mendukungku. Kakakku pun yamg biasanya selalu mendukungku tapi kali ini berbeda. Bahkan, yang kini masih terngiang di memoriku adalah ketika ibu mengucapkan "apakah aku dan bapakmu harus hidup seperti ini sampai nanti ?"pertamyaan itu sangat menampar hatiku.
Aku masih teguh dengan pendirianku untuk kuliah di PTN. Semua usaha telah aku lakukan dan aku percaya usahaku tak akan mengkhianti hasil. Mulai dari kegiatan religius seperti salat sunah dan puasa. Tiada hari tanpa belajar sampai-sampai aku tak peduli dengan kesehatanku. Meski begitu orangtuaku tetep kekeh tak mau meridhoiku.
Kabar bahwa aku kuliah semakin menyebar. Sebelumnya aku pernah mengatakan kepada orangtuaku untuk menyimpan rahasia ini dengan baik agar seandainya hasilnya berbanding terbalik aku tak mendapatkan lebih banyak rasa malu. Setelah mengetahui kabar itu, tetanggaku dan seluruh saudara bapak dan ibu hanya sedikit yang mendukungku. Mereka cenderung menginginkanku untuk kerja kemudian nikah dan punya anak. Karena memang, di desaku jarang yang kuliah. Hanya kakak Endri (temanku) yang kuliah di Jakarta. Itu pun masih banyak yang menghujat. "Hai, hidup dan masa depan itu tak semudah itu !" Kataku dalam hati.
Hari demi hari tetanggaku terus mengkritik. Sebenarnya yang dikatakan itu benar. Tapi kenapa mereka harus mengungkit masa lalu bapak dan ibu. Mulai dari kelahiranku yang hampir membuat ibuku melayang karena kehilangan banyak darah. Mulai dari kecelakaan bapakku dan seluruh tanah, cengkeh, padi yang dijual demi sekolahku. Mereka seakan menyudutkanku bahwa aku hanya parasit di kehidupan bapak dan ibu. Suatu malam aku pernah mendengar bapak menyesali hidupnya yang tidak bisa buruh karena kakinya tak bisa berjalan normal seperti biasanya karena kecelakaan tempo dulu. Bapak menyesali perbuatannya dulu menghamburkan uang hanya untuk judi. Air mataku tak terbendung. Beberapa kali aku melihat bapak memegangi perutnya karena terkena hernia dan sudah seharusnya bapak dioperasi. Aku sebagai anak ingin sekali membantu bapak. Aku tak tega melihat bapak selalu kesakitan untuk ke sekian kalinya.
Kegagalan demi kegagalan menghampiriku. Mulai dari ujian praktik biologi gagal, kalah saing lari dan push up pada waktu ujian praktik penjaskes, nilai UN Matematika yang jauh di bawah rata-rata, tidak lolos SNMPTN, tidak lolos SPAN PTKIN, dan yang terakhir aku harus menelan kekecewaanku terhadap kegagalan SBMPTN. Aku jatuh saat itu, bagaimana mungkin semua kerja kerasku dibayar sia-sia oleh hasil yang sungguh tak ku duga sebelumnya. Aku tambah sedih ketika melihat teman-temanku yang belajar santai justru menuai keberhasilan. Ditambah lagi sindirian dari tetanggaku yang sangat membuat psikologisku terganggu.
Tak dapat dipungkiri waktu wisuda aku meneteskan air mata pada saat pemanggilan siswa-siswi berprestasi yang diterima di PTN. Hatiku kian hancur. Aku masih tidak percaya semua usahaku gagal. Aku menyalahkan semua orang, termasuk diriku sendiri. Bahkan, aku menyalahkan Alloh SWT sebagai wujud kekecewaanku. Itu sungguh tidak baik.
Aku benar-benar kehiangan semangatku waktu itu. Bapak dan ibuku juga ikut terlarut dalam kesedihan. Mimpi yang selama ini ku coba bangunkan ternyata menjadi mimpi buruk. Teman-temanku banyak yang mendukungku. Namun, berbeda dengan kakaku yang justru bahagia karena aku tak jadi kuliah di PTN dengan alasan biaya hidup. "Aku hanya ingin mandiri. Aku bisa" jeritku dalam hati.
Suatu hari setelah beberapa kegagalan itu, ada tetanggaku yang sudah mengenal dekat keluargaku. Ia menyindir "Tuh kan, orang ndesa kok mau kuliah. Ya nihil.. makanya jangan mimpi terlalu tinggi. Sekarang aku tak tanya, kapan kamu kerja ? Kapan kamu sukses ? Orangtuamu hanya akan bangga jika kamu kerja dan banyak uang." Aku tahu pekerjaan itu penting dan pendidikan justru sangat penting bagiku. Aku heran sejak kapan mereja mengukur kebahagian orangtuaku.
Tibalah hari dimana pengumuman UM-PTKIN. Aku tak begitu yakin akan kelolosanku. Aku tak berharap. Jikapun aku lolos itu tidak akan merubah semangatku. Tapi ternyata, aku lolos dan orangtuaku senang akan hal itu. Sungguh, hati ini tidak terlalu senang dengan kelolosan itu. Aku mencoba bersabar. Hari demi hari banyak guru-guru yang memotivasiku, orangtuaku pun begitu, teman-temanku apalagi. Aku bersyukur diberikan orang-orang terbaik dalam hidupku. Aku mulai memperbaiki diri, mencoba mencari motivasi demi motivasi. Kemudian, aku mendekatkan diri kepada Alloh SWT dan memohon ampun atas kekhilafanku yang menyalahkan-Nya. Aku benar-benar menyesal. Selepas ku perlahan bangkit aku mencoba mencari informasi dan berita terkait keringanan UKT, beasiswa, bidikmisi. Aku juga aktif untuk mengikuti lomba-lomba di media sosial. Aku kembali bersemangat karena melihat orangtuaku bangga terhadapku karena aku sudah bisa menerima kenyataan. Aku yakin suatu saat aku akan sukses. Aku akan membuktikan bahwa pekerjaan memang penting. Uang memang penting. Sangat penting. Tapi, pendidikan adalah segala-galanya. Bangsa ini membutuhkan manusia yang cerdas dan terampil. Success is right. The right way. And the right time.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih